Kelompok separatis Organisasi Papua
Merdeka (OPM) kembali menunjukkan eksistensinya. Meskipun berbagai kebijakan
telah ditempuh pemerintah pusat, antara lain pemberian otonomi khusus, tetap
saja keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia tidak pernah padam.
Bahkan baru-baru ini, pimpinan OPM yang bermarkas di Lany Jaya, Papua, Puron
Wenda dan Enden Wanimbo, melontarkan pernyataan serius. Mereka menantang
Indonesia berperang secara terbuka.
"Mulai sekarang kami nyatakan perang revolusi total dari Sorong hingga
Merauke, yakni perang secara terbuka terhadap semua orang Indonesia yang ada di
tanah Papua," kata Enden Wanimbo, Jumat, 22 Mei 2015.
Tantangan perang terbuka itu untuk menegaskan bahwa perjuangan Papua Merdeka
tetap menjadi harga mati. Mereka menolak segala bentuk dialog serta membantah
klaim dari Presiden Joko Widodo, bahwa Papua sudah aman.
"Itu tidak benar," tegas Enden.
Untuk mendukung perang terbuka, organisasi yang berdiri sejak 1965 itu sudah
mengumpulkan logistik seperti senjata dan amunisi. Mereka siap berperang demi
meraih tujuan.
Kolega Enden, Puron Wenda mengungkapkan alasan mengapa kelompoknya itu memilih
perang terbuka. Menurut dia, Indonesia dianggap tidak bisa dipercaya.
"Komando OPM siap perang. Kami tak mau dialog yang diatur-atur Indonesia,
yang suka tipu-tipu," ujarnya.
Puron juga mengatakan, kelompoknya sedang menyiapkan persenjataan. Meski tak
menyebutkan secara detil waktu perang terbuka itu, namun dia mengatakan,
"Sekarang tinggal tunggu komando maka perang dimulai."
Puron meminta pemerintah Indonesia keluar dari seluruh tanah Papua. Karena,
mereka akan terus berperang untuk Papua Merdeka.
Dalam perang terbuka atau yang dinamai revolusi total dari Sorong sampai
Merauke itu, kelompok OPM Puron Wenda dan Enden Wanimbo berupaya mengusir
Indonesia dari Papua. Mereka tak hanya mengincar TNI-Polri, tapi juga seluruh
masyarakat sipil non Papua.
"Pengusaha, buruh bangunan, pegawai negeri orang Indonesia akan diusir,
bukan hanya tentara atau polisi," kata Puron Wenda.
Puron menegaskan semua gerakan mereka adalah gerakan politik untuk kemerdekaan
Papua. Dia menolak tegas disebut sebagai kelompok kriminal, kelompok pengacau,
kelompok kecil, atau istilah lain yang serupa.
"Kami pejuang kemerdekaan Papua," katanya.
Sedangkan, Enden mengajak wartawan asing untuk masuk ke Papua guna menyaksikan
secara langsung aksi yang akan mereka lancarkan. Wartawan internasional dan
nasional akan diberi kebebasan untuk melakukan peliputan di Papua.
Reaksi Polri
Kepolisian Daerah Papua langsung bereaksi begitu muncul tantangan perang
terbuka dari OPM tersebut. Juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar Polisi
Patrige Renwarin, memerintahkan seluruh Kepolisian Resor di wilayahnya,
terutama yang selama ini dianggap rawan, untuk siaga dan waspada.
Bagaimanapun, mereka harus tetap memastikan keamanan dan ketertiban masyarakat,
terutama dari ancaman kelompok-kelompok yang selama ini kerap mengacau.
Patrige mengakui ancaman serupa
memang sudah sering terjadi. Namun kali ini dia meminta seluruh jajaran untuk
meningkatkan kewaspadaan.
"Sudah sering mereka mengancam tapi kami tidak meresponsnya dengan langkah
represif, hanya antisipatif dan preventif," kata Patrige di Markas Polda
Papua di Jayapura, Jumat, 22 Mei 2015.
Patrige melihat motif ancaman kelompok bersenjata itu jelas ingin menciptakan
keresahaan di masyarakat sehingga perlu diwaspadai sedini mungkin.
"Kami menganalisis sejauh mana ancaman yang dilancarkan, yang jelas
tujuannya membuat masyarakat resah," katanya.
Selain meningkatkan kewaspadaan, polisi juga akan menggalang dukungan kelompok
masyarakat untuk bersama menciptakan rasa aman. Caranya ialah dengan memberikan
pemahaman kepada kelompok bersenjata itu bahwa ancaman hanya akan meresahkan
dan merugikan masyarakat Papua.
"Kekerasan hanya akan
melahirkan kekerasan lagi," ujarnya.
Mengenai kemungkinan penambahan pasukan di daerah yang dianggap rawan, Patrige
menyatakan sejauh ini belum perlu.
"Yang penting antisipasi, waspada. Tapi kalau memang ada polres atau
polsek yang perlu penambahan personel, tentu akan kami kirim," katanya.
TNI Kuat
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia juga turut merespon ancaman aksi
separatis tersebut. Mereka sama sekali tidak takut dalam menjalankan tugas
pertahanan.
"Tentara kita kuat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan (dari ancaman
itu)," kata Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal TNI M. Fuad Basya.
Fuad justru meragukan ancaman yang dilontarkan oleh Puron Wenda dan Enden
Wanimbo. Menurutnya, tidak ada yang istimewa dari teror tersebut.
"Sangat biasa, tidak ada ancaman. Mereka berapa? Itu kelompok-kelompok
kecil bersenjata yang masyarakat tidak suka sama mereka," ujarnya.
Fuad bahkan tidak yakin mereka mampu merealisasikannya.
"Emang mereka berani melakukan? Ancaman itu sekadar ngomong saja. Kalau
perang terbuka, mereka melakukan di mana, dengan kekuatan berapa, siapa yang
mereka serang," imbuh dia.
Fuad mengungkapkan kondisi di Papua saat ini sudah aman dan tenang. TNI
konsisten membantu pemerintah daerah dalam membangun dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, jika ada kelompok-kelompok yang membuat kerusuhan atau suasana
tidak kondusif, justru merusak ketenangan masyarakat.
"Kalau ada yang berniat seperti itu, berarti mereka tidak suka masyarakat
hidup makmur. Mereka akan diserang oleh masyarakat, malah jadi bumerang buat
mereka," imbuhnya.
Meskipun demikian, Fuad tetap mengimbau kepolisian dan juga masyarakat untuk
waspada. Sementara, dia memastikan TNI juga siap menghadapi segala kemungkinan
yang ada.
Untuk para anggota OPM itu, Fuad menilai seharusnya mereka berterima kasih.
Sebab, Presiden Jokowi sejauh ini sudah mengambil langkah-langkah yang baik
seperti memberikan grasi bagi tahanan politik.
Langkah Jokowi
Menghadapi situasi di Papua, Presiden Jokowi menempuh sejumlah langkah. Demi
menciptakan situasi kondusif di Papua, dia tercatat memberikan grasi kepada
lima narapidana politik Papua pada Sabtu 9 Mei 2015.
Lima narapidana itu dipenjara karena telah mencuri senjata di gudang senjata
Kodim Wamena pada 3 April 2003. Mereka yang diberi grasi oleh Jokowi adalah
Numbungga Telenggen (seumur hidup), Linus Hiluka (20 tahun), Apotnaholik
Lokobal (20 tahun), Kimanus Wenda (20 tahun), dan Japrai Murib (20 tahun).
"Ini upaya pemerintah dalam menghapus stigma konflik yang ada di Papua.
Kita ingin ciptakan Papua sebagai tanah yang damai, sebab itulah saya
memberikan grasi sore ini," kata Jokowi usai memberikan grasi kepada lima
narapidana politik Papua, di Lapas Abepura.
Selain lima narapidana politik ini, Jokowi juga berjanji akan memberikan grasi
pula kepada sembilan narapidana Papua lainnya. Namun, ada satu narapidana yang
tidak diberi grasi oleh Jokowi.
Dia adalah Filep Karma, karena
meminta amnesti. Jokowi menyatakan, dia tak bisa serta merta dapat memberikan
amnesti. Sebab, pemberian amnesti harus melalui persetujuan DPR.
"Saya ingin berikan grasi, tapi dia minta amnesti. Sedangkan amnesty harus
persetujuan Dewan, kita tunggu apakah Dewan setuju," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, pemberian grasi kepada lima tahanan itu melalui proses yang
panjang. Bukan serta merta hanya dipilih oleh Jokowi.
"Bukan dipilih tapi
melalui komunikasi dan proses," ungkap Jokowi.
Dengan membebaskan semua tahanan politik dan narapidana politik ini, Jokowi
berharap mereka akan bersama-sama membangun Papua menuju wilayah yang lebih
sejahtera.
"Mari semua bergandeng
tangan membangun Papua, meski dengan cara yang berbeda-beda," kata Jokowi.
Ia juga meminta melupakan masa lalu dan mengajak untuk menata masa depan.
"Mari lupakan yang lalu,
jangan lagi saling menyalahkan, tapi mari tatap masa depan yang lebih
baik," ujar Jokowi.
Salah satu napol yang mendapat grasi yakni Japrai Murib menyatakan rasa
syukurnya atas grasi yang diberikan Presiden Jokowi.
"Saya bersyukur dengan grasi ini, ini jawaban yang saya tunggu-tunggu
selama 12 tahun 8 bulan saya di penjara, era SBY grasi saya ditolak,"
katanya.
Sementara itu, Kimanus Wenda menyatakan, grasi yang diberikan Presiden adalah
pemindahan dari penjara kecil ke penjara besar.
"Dengan di luar kami bekerja luas dengan masyarakat, sebab kami adalah
alat masyarakat," ujar Wenda yang menjalani tahanan selama 12 tahun 8
bulan.
Selain tahanan politik, Jokowi juga mengajak semua anggota dan pimpinan OPM
Goliat Tabuni untuk bersatu membangun Papua.
"Ke depan kita akan ajak sama-sama membangun Papua dengan pendekatan
kesejahteraan dan meningkatkan pembangunan," kata mantan Gubernur DKI
Jakarta itu.
Untuk itu, Jokowi meminta semua pihak jangan lagi ada yang memanas-manasi
situasi Papua.
"Kita akan bangun Papua,
jadi jangan lagi ada yang panas-panasi," tutur Jokowi.
Jokowi mengaku belum menerima surat dari Goliat Tabuni yang berisi
pernyataannya untuk terus berjuang demi kemerdekaan Papua.
"Saya belum terima
suratnya," ujar dia.
Goliat mengklaim bahwa dia telah mengirim surat ke Jokowi melalui kapolres
Puncak Jaya, kapolda, dan gubernur Papua.
Hanya Gertakan
Sementara itu, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Pater DR Neles Tebay,
mengungkapkan pendapatnya. Dia mencatat, ancaman yang dilontarkan OPM kali ini
tidak biasa.
Sebab, dalam beraksi OPM biasanya mereka tidak pernah mengumumkan terlebih
dahulu. Apalagi memberitahukan akan melakukan perang.
"Kalau mereka lihat musuh, hajar saja tanpa pemberitahuan atau pengumuman.
TNI, Polri, aparat keamanan, mereka tembak saja. Kali ini ada pengumuman bahwa
ada perang terbuka. Bagi saya, itu sesuatu hal baru yang tidak pernah dibuat OPM-OPM,"
kata Neles saat berbincang dengan VIVA.co.id.
Neles menilai, aksi Puron Wenda dan Enden Wanimbo tersebut hanya untuk
menggertak pemerintah. Menurutnya, mereka hanya ingin menunjukkan eksistensi.
"Mereka ingin mengatakan bahwa mereka ada. Itu saja. Tapi saya tidak
terlalu percaya mereka akan melakukan suatu perang terbuka, melawan semua
orang, tidak hanya TNI Polri tapi orang-orang Indonesia," ujarnya.
Meskipun demikian, Neles meminta pemerintah tidak boleh memandang remeh ancaman
perang terbuka tersebut. Selain itu juga tidak perlu terpancing.
"Mereka juga punya potensi untuk menciptakan perdamaian, memicu aksi-aksi
kekerasan,"
Untuk menghadapi situasi itu, Neles menawarkan sebuah jalan keluar. Selain
tidak berlebihan dan memandang remeh, menurutnya, pemerintah perlu
memperlihatkan bahwa mereka serius menyelesaikan masalah Papua secara
menyeluruh.
"Apa masalah Papua? Sebaiknya, cari bentuk yang pas dilakukan
dialog," usulnya.
Ketua Sekolah Tinggi filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur di Abepura, Papua, itu
menjelaskan bahwa masyarakat Papua dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama,
mereka yang hidup di kota dan kampung. Kedua di hutan yaitu para anggota OPM
dan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Lalu ketiga, di
luar negeri seperti Belanda, Australia dan negara-negara lain.
Untuk menyelesaikan persoalan Papua, dia menyarankan pemerintah khususnya
Presiden Jokowi agar tidak hanya menemui mereka yang masuk kategori pertama.
Tapi, kategori kedua dan ketiga juga harus diprioritaskan.
"Ini bagaimana pemerintah membangun komunikasi politik dengan mereka
terutama yang di hutan dan luar negeri," lanjutnya.
Neles mempersoalkan, apabila Jokowi bisa mengunjungi orang Papua di kota dan
kampung tiga kali setahun, bagaimana dengan yang di luar negeri dan hutan?
Padahal mereka memperjuangkan aspirasi politik dengan kekerasa, dan yang di
luar negeri dengan lobi-lobi yang semakin hari semakin gencar.
"Presiden jangan hanya mendekati yang ada di kampung atau kota tapi dengan
yang di hutan dan luar negeri. Pemerintah bisa dengar sendiri dari mereka
sehingga tahu apa yang mereka mau. Mungkin masalah mereka sudah ditutaskan tapi
belum tentu mereka tahu," tuturnya.
Saat disinggung, apakah Jokowi perlu blusukan ke hutan-hutan Papua demi menemui
masyarakat Papua yang hidup di sana, Neles menyerahkannya pada Jokowi untuk
mengaturnya.
"Di mana terserah, itu bisa diatur. Yang penting, kehendak politik
pemerintah untuk membangun komunikasi politik dengan masyarakat Papua di hutan
dan luar negeri supaya dengar sendiri apa yang jadi masalah".
Neles lalu memberikan saran
pada TNI dan Polri. Menurutnya, institusi pertahanan dan keamanan itu juga
tidak perlu berlebihan dalam menanggapi pernyataan tentang ancaman perang
terbuka dari OPM misalnya dengan menggelar operasi militer, atau memperbanyak
pasukan di Papua.
"Tapi jangan terlena, tetap bersiaga saja, wasapada. Tidak melakukan
tindakan secara berlebihan, kalau berlebihan bisa antipati, bukan hanya dari
OPM tapi masyarakat Papua," dia mengingatkan.