Social Profiles

Pages

Wednesday 27 May 2015

Perjalanan panjang konflik bersenjata di Papua

Perjalanan panjang konflik bersenjata di Papua
 Dua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) disandera oleh kelompok sipil bersenjata saat berangkat belanja ke pasar di Paniai, Papua. Keduanya adalah Serda Lery, anggota Koramil Komopa dan Prada Sholeh, anggota Kostrad 303/Raider yang bertugas di Pos Komopa.

Saat disandera, keduanya memang tidak mengenakan seragam dinas. Selain mereka, seorang guru juga sempat ikut dibawa kelompok tersebut namun segera dilepaskan. Kedua anggota berhasil kabur dari lokasi penyanderaan tadi malam dan kembali bergabung bersama kesatuannya.

Sejak berintegrasi dengan Indonesia, konflik di tanah Papua tak kunjung mereda. Bagaimana konflik ini bermula?

Dari penelusuran merdeka.com, konflik bermula dari upaya Indonesia untuk merebut Papua Barat dari tangan Belanda. Tindakan ini tak lepas dari hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di mana salah satunya memuat integrasi Papua dilakukan setahun setelah penyerahan kedaulatan.

Di sisi lain, Belanda memandang Papua jauh berbeda dengan suku-suku di Indonesia. Negara ini enggan menyerahkan wilayah tersebut dan berencana memerdekakannya. Namun, niat tersebut ditolak dan Indonesia menempuh berbagai upaya untuk mendapatkan legistimasi atas Papua.

Sikap agresif Indonesia untuk mengambil alih Papua dijawab dengan mengumpulkan rakyat Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri pada 1959. Tindakan ini dibarengi dengan pembangunan rumah sakit di Hollandia (sekarang Jayapura), pelabuhan di Manokwari, pusat penelitian agrikultural, pertanian dan militer.

Selang setahun, Dewan Papua didirikan, di mana setengah dari anggotanya dipilih Belanda. Tak hanya itu, Belanda juga membangkitkan identitas nasional Papua Barat dengan membuat bendera nasional, yakni 'Bintang Kejora', lagu nasional dan seragam militer. Setelah itu, dimerdekakan pada 1970 dengan nama Nugini Barat.

Tindakan sepihak ini membuat geram Indonesia, Soekarno bahkan mempersiapkan operasi militer besar-besaran untuk merebut Papua Barat. Keterlibatan PBB dan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) mampu mencegah pertumpahan darah, dan Papua masuk menjadi bagian Indonesia dengan nama Irian Jaya, atau kependekan dari Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland.
Setelah menjadi bagian Indonesia, Papua diserbu banyak pendatang dari Pulau Jawa. Hal ini tak lepas dari gencarnya upaya pemerintah agar persebaran penduduk merata di seluruh provinsi, termasuk Papua.

Tindakan ini menuai kekecewaan dari segelintir orang, salah satunya Nicolaas Jouwe. Mantan presiden dan ketua Dewan Papua bentukan Belanda ini menolak bergabung dengan Indonesia. 

Dia mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965 dan memproklamirkan pembentukan Republik Papua Barat. Sejak itu, kedua belah pihak terlibat saling serang dan baku tembak. OPM tak hanya menyerang aparat keamanan di Papua, tapi juga warga sipil lokal maupun asing yang dianggap sebagai pendukung Indonesia.

Serangan pertama terhadap kepentingan asing berlangsung pada 14 April 1986, OPM menyerbu kru dan merusak fasilitas tambang milik Freeport Indonesia. Serangan ini terjadi karena perusahaan AS tersebut menolak membantu perjuangan mereka untuk memisahkan diri dari NKRI. Terakhir, penyanderaan yang mengakibatkan Krisis Mapenduma, di mana mereka menyandera puluhan warga asing.

Selain serangan bersenjata, mereka juga mempropagandakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan aparat TNI/Polri di Tanah Papua. OPM menyebut telah terjadi peristiwa genosida terhadap penduduk Papua. Klaim ini mendapat dukungan dari beberapa LSM di Inggris, Australia dan negara-negara Melanesia.

Upaya Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberikan status Otonomi Khusus sempat meredakan ketegangan di Papua pada awal 2000-an. Di saat bersamaan, beberapa warga Papua membentuk Dewan Rakyat Papua dan menyatakan merdeka dari Indonesia. Tindakan itu dijawab dengan operasi militer dan menangkapi beberapa tokoh di dalamnya.

Hingga kini, konflik masih terus berlangsung. OPM sempat menembak mati 12 anggota TNI tanpa senjata yang tengah berpatroli bersama warga setempat. Beberapa insiden lain yang melibatkan OPM juga terus terjadi, terutama di wilayah Painai dan Puncak Jaya.

Presiden Jokowi telah berusaha merangkul pihak yang bertikai di Papua. Jokowi memberikan grasi pada lima tahanan politik OPM. Dia juga berjanji akan mempercepat pembangunan di Papua sehingga kesejahteraan bisa dirasakan di sana. Semoga damai segera terwujud di bumi Cendrawasih.

0 komentar:

Post a Comment